YANG TERLUPAKAN
Karya : Apri Medianingsih
Seorang lelaki tua bertopang dagu di depan televisi,
Matanya nanar menatap sedih.
Lidahnya kelu tercegat pada dengus nafasnya yang tergurat emosi tertahan.
Telah ia saksikan aroma kebusukan,
Para pencuri dan pegadai negeri tengah berkoar dalam opini bunga bangkai.
Air matanya menitik, di pipi yang dulu menjadi tameng pertaruhan merdeka atau mati.
Ia kini renta, dan tak lagi punya daya.
Tapi jiwa dan ingatannya tetap berkobar, mendekap erat bendera yang dulu ia pertarungkan di medan pertempuran.
Hujan peluru laksana gerimis nyali keperkasaan.
Kini ia menangis dengan kepalan tangan yang gemetar, memukul angin yang tiada bergeming menyambutnya.
Ia menjerit tanpa kata, seakan ingin berteriak:
Negeri ini bukan negeri tak bertuan,
Negeri ini negeri milik para pejuang,
Negeri ini bukan negeri para pecundang,
Negeri ini negeri penuh derai air mata, dan genangan darah.
Kalian kini…
Ya kalian adalah berjuta sampah penyumbat negeri, tanpa tahu diri.
Otakmu, penuh muatan maksiat penggendut perut.
Hatimu iblis laknat pengkhianat bejat kualat.
Matamu tak mampu menangkap kehancuran yang kian sekarat.
Dan kalian tertawa di atas darah pendahulumu,
Kalian habiskan harta negara dengan rakus,
Kalian biarkan berjuta pemuda tanpa pekerjaan,
Kalian nistakan kaum lemah, di atas meja kekuasaan.
Kalian cekik perekonomian dengan ironi pembangunan.
Lelaki tua itu beringsut diam dalam doanya,
Bila Tuhan kirimkan azab bagi para penikmat kemerdekaan yang durhaka, sebelum mereka mati.
Pahlawan tak tercatat, engkau ibarat malaikat terabaikan tanpa penghargaan.
Dan tetaplah hidup jiwa patriotmu, meski engkau adalah pahlawan,
Yang terlupakan.
Way Kanan, 28 Agustus 2018